Senja baru saja menjelang dengan larik-larik sinar mentari yang tersebar di ufuk barat. Awan-awan putih berpendar memantulkan cahayanya. Hari ini senja terlihat sangat cerah, tanpa mendung apalagi gerimis. Burung-burung pun nampak sibuk beterbangan kembali ke sarang, tak ingin tersesat dalam gelapnya malam. Aku duduk di depan televisi sambil sesekali meneguk kopi bikinan isteriku. Sementara isteriku tengah mengganti baju si kecil yang baru saja selesai mandi.
Tiba-tiba kami tersentak saat terdengar suara di atas atap rumah kami. Kami saling berpandangan. Suara burung gagak, lewat sorot matanya, isteriku berkata. Aku mengangkat bahu dan kembali menatap televisi dengan siaran berita sorenya. Hening. Tak lama kemudian, suara burung gagak itu terdengar kembali dengan jelas. Aku mendongak ke arah atap. Suara itu benar-benar berasal dari atas atap rumahku. Aku diam saja dan kembali menikmati berita sore sambil mengeraskan volume televisi dan mencoba untuk tidak terganggu dengan kehadiran burung gagak yang mungkin tengah bertengger di atas atap rumahku.
"Pak, ada burung gagak hinggap di atas atap rumah kita," bisik isteriku lirih di dekat telingaku. Aku diam dan masih tetap menatap televisi di depanku.
"Mungkin gagak di kuburan, Bu," jawabku lirih.
Kuburan desa letaknya di sebelah utara, tidak jauh dari rumah kami. Kira-kira lima belas menit jalan kaki. Tempatnya berada di dataran yang lebih tinggi dari dataran di sekitarnya. Di sana banyak tumbuh pepohonan berdaun rimbun selain pohon kamboja tentunya. Dan seperti kuburan-kuburan yang lain, di kuburan desa itu juga banyak burung gagak. Terkadang burung-burung gagak itu terbang melintasi atap-atap rumah penduduk desa. Hanya sekedar lewat, atau terkadang mereka hinggap untuk kemudian terbang dengan tikus mencicit dalam jepitan paruh mereka. Tak jarang pula, burung-burung gagak itu terbang ke perkampungan dan mencuri anak-anak ayam yang masih kecil-kecil. Hal ini terkadang membuat warga menjadi marah dan akhirnya memburu burung-burung gagak itu.
"Bukan, Pak. Suaranya sangat jelas," sahut isteriku. Ada nada cemas dalam suaranya.
"Memang kenapa, Bu?" tanyaku tanpa berpaling dari berita sore di televisi.
"Kata orang tua dahulu, kalau ada burung gagak hinggap di atas atap rumah seseorang, berarti itu pertanda bahwa akan ada anggota keluarga yang meninggal," jawabnya masih lirih. Aku mengangkat bahu dan tersenyum simpul.
"Itu tahayul, Bu,"
"Beneran kok, Pak. Kemarin, pas mbah Mangun mau meninggal, di atap rumahnya juga dihinggapi oleh burung gagak. Terus, di atapnya Kang Sadim, sehari kemudian ia meninggal."
"Lha, itu kan karena mbah Mangun sudah tua, sudah sakit-sakitan dan dipastikan tidak bakal sembuh lagi. Terus, kalau Kang Sadim, karena dia kurang hati-hati mengendarai motornya, sehingga terjadi kecelakaan. Terus, si Noto karena dia terpeleset dan jatuh ke sungai. Terus siapa lagi? Itu semua karena takdir, Bu. Bukan karena ada burung gagak yang hinggap di atas atap rumah mereka," aku mencoba menenangkan isteriku. Tapi entah kenapa, wajah isteriku tetap nampak cemas.
"Iya, aku tahu. Burung gagak itu menjadi pertanda," isteriku masih saja mencoba berdebat. Aku menghela nafas dalam-dalam kemudian diam dan kembali menonton berita sore.
"Memangnya siapa yang akan meninggal di rumah ini?" tanyaku saat berita terpotong oleh iklan. Isteriku diam. Ada raut ketidakmengertian terlukis pada wajahnya.
"Maksudnya?"
"Tadi katanya, kalau ada burung gagak hinggap di atas atap rumah seseorang, itu berarti akan ada yang meninggal. Lha, terus tadi kan ada burung gagak hinggap di atas atap rumah kita. Jadi, siapa yang akan meninggal?" aku mengulangi pertanyaanku. Dan lagi-lagi isteriku hanya diam. Ia menghela nafas dalam sambil mengangkat bahunya.
"Aku masih sehat kok, Bu. Tidak sedang sakit. Si kecil juga. Tadi bahkan ia sempat bermain seharian penuh bersama teman-temannya. Terus kamu sendiri juga sehat, kan? Tidak ada tanda-tanda sakit apalagi tanda-tanda kematian," aku menarik nafas dalam-dalam. Berita sore di televisi berlanjut, dan aku kembali menatap layar televisi. Suara burung gagak kembali terdengar, kali ini terdengar lebih nyaring dari yang tadi. Aku dan isteriku saling berpandangan. Aku menggeleng dan kembali menikmati berita sore. Aku diam hingga tak kusadari isteriku telah beranjak dari sisiku.
"Husss... husss..."
Sayup-sayup aku mendengar seseorang tengah mengusir sesuatu. Aku mengedarkan pandanganku. Isteriku sudah tidak ada, juga si kecil. Dengan malas, aku bangkit dan berjalan mencari isteriku. Dan suara "husss... husss" itu kembali terdengar. Arahnya dari belakang rumah, batinku. Kemudian aku bergegas ke belakang rumah. Di sana, kudapati isteriku dan si kecil tengah berdiri di halaman belakang sambil tatapan mereka mengarah ke atas, tepatnya ke atas atap rumah kami. Aku pun bisa melihat seekor burung gagak tengah bertengger diam di sana. Burung berbulu hitam itu tampak menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Matanya yang juga hitam memandang ke arah kami.
Aku melihat isteriku memegang sebuah cermin. Sesekali ia mengarahkan pantulan sinar matahari senja dari cermin tersebut ke arah burung gagak itu. Sambil mulutnya terus berseru mengusir burung tersebut. Aku hanya menggeleng menyaksikan semua itu.
"Sudahlah, Bu. Biarkan saja. Hati-hati sama burung gagak. Ada orang yang bilang burung gagak itu burung yang pintar. Mereka bisa mengingat wajah seseorang, terlebih wajah orang yang telah mengganggunya. Mereka juga bisa mengenali senapan dari jarak yang cukup jauh, sehingga mereka bisa menghindar." Aku teringat sebuah artikel tentang burung gagak. Sementara isteriku hanya diam saja sambil terus mencoba mengusir burung gagak itu.
Tak lama kemudian, burung gagak itu akhirnya pergi juga. Ia terbang ke arah utara, ke arah kuburan desa. Isteriku nampak menarik nafas lega, kemudian tanpa berbicara ia menarik si kecil dan masuk ke rumah. Aku hanya menggelengkan kepala kemudian menyusul masuk ke rumah. Senja masih terang, meski sebentar lagi malam akan datang.
Kami berkumpul di ruang tamu. Baru beberapa menit kami berada di dalam rumah, tiba-tiba suara burung gagak itu terdengar kembali. Kami saling berpandangan. Dengan bergegas, isteriku hendak beranjak keluar sambil tangannya memegang cermin. Aku segera mencegahnya dan mengajaknya duduk kembali.
"Biarkan saja, Bu. Paling-paling ia sedang mencari tikus di atap," kataku pelan. Aku sadar, rumah kami sebenarnya tidak ada tikusnya. Kebetulan kami memelihara kucing. Tapi terkadang ada saja tikus yang datangnya entah dari mana, melompat melewati atap-atap rumah tetangga dan sampai di atap rumah kami. Dan tikus adalah salah satu makanan favorit burung gagak. Tapi isteriku bersikeras hendak keluar. Aku menahannya, bahkan terpaksa menyeret tangannya dan menyuruhnya duduk. Ia diam, namun ada nada kecewa terlukis dalam wajahnya.
"Burung itu pertanda, Pak. Ia membawa kabar kematian," isteriku berkata lirih.
"Bukan, Bu. Tidak ada hubungannya. Lagian, siapa yang akan mati di rumah ini? Tidak akan ada yang mati. Jangan percaya takhayul!" nada suaraku terasa meninggi menahan amarah.
"Alah, Bapak ini nggak tahu apa-apa," sungut isteriku sengit.
Entah kenapa, tiba-tiba saja darahku terasa mendidih. Jantungku bergedup dengan kencang. Tanganku pun gemetar. Dengan kasar, aku menarik tangan isteriku dan menyeretnya kembali ke tempat duduk. Dan dengan kasar pula, isteriku menampik tanganku. Hal ini semakin memicu kemarahanku. Akhirnya, aku menampar pipi isteriku.
Plak!!!
Ia diam sesaat sambil matanya berkaca-kaca menatapku dengan tatapan yang berapi-api. Bibirnya nampak bergetar namun tidak ada suara yang keluar. Aku membalas tatapannya dengan tajam. Sementara si kecil mulai menangis.
"Kamu mau percaya tahayul apa percaya kepadaku!?" bentakku keras. Ia hanya diam. Tangis si kecil pun kian keras.
"Jawab!!!" bentakku lagi. Tubuhku bergetar hebat, tinjuku terkepal, otot-ototku mulai menegang. Terasa-rasa tak bisa lagi aku menahan amarahku.
Suara burung gagak semakin sering terdengar dan semakin nyaring. Masih diam, isteriku beranjak dari hadapanku dan hendak pergi ke belakang. Aku mengejarnya dan berniat untuk menyeretnya.
"Lepaskan!!!" isteriku berontak dengan kuat. Aku mencengkeram kedua bahunya dan terus berusaha menyeretnya kembali. Semakin kuat cengkeramanku pada bahunya, semakin kuat pula ia mencoba berontak untuk melepaskan diri. Dengan kasar aku menarik bahu kirinya hingga kini kami saling berhadapan.
Plak!!!
Plak!!!
Dua kali tamparan di pipi kanan dan kirinya. Isteriku hanya diam dan terhuyung sebentar.
Plak!!!
Tanpa aku sadari, ia membalas tamparanku. Aku pun limbung ke belakang. Pipiku terasa panas dan perih. Dengan cepat isteriku berbalik dan berlari keluar rumah. Aku mengejarnya. Jarakku semakin dekat, aku meloncat dan menendangnya dari belakang. Ia jatuh tersungkur, kepalanya membentur pintu. Belum puas, aku segera menghampirinya dan menarik rambutnya hingga wajahnya terangkat. Ada darah mengalir dari keningnya. Aku tak menghiraukan si kecil yang kini tengah menangis meraung-raung melihat pertengkaran orang tuanya.
"Kamu percaya tahayul apa percaya padaku, Bu?" ada penekanan dalam pertanyaanku, seiring aku mencoba menahan amarahku. Ia hanya diam sambil terus menatap kepadaku dengan sinar penuh kebencian.
"Burung gagak itu pertanda kematian, Pak," ia menjawab lemah sambil tersenyum sinis.
Aku meradang mendengar jawabannya tersebut. Dengan kasar, aku membenturkan kepalanya ke lantai. Ia berontak sejenak, dan berhenti setelah beberapa kali benturan. Darah tercecer di lantai, sebagian membasahi pintu dan tembok rumah. Tanganku juga terkena cipratan darahnya. Aku menarik nafas lega kemudian berdiri. Aku terkejut saat suara burung gagak terdengar lagi. Tidak hanya seekor tampaknya, tapi lebih. Mereka berkoak nyaring mencipta irama mistis kematian. Aku berjalan limbung mendekati si kecil yang masih saja menangis. Aku merasa pusing dan mual.
Burung gagak itu pertanda kematian, Pak.
Kata-kata isteriku itu terus terngiang dalam telingaku. Aku terdiam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar